Jumat, 18 Mei 2012

Tak Hanya Mimpi

Tugas Bahasa Indonesia SMA Negeri 8 Tangerang, yaitu membuat karangan narasi.

Tak Hanya Mimpi
     Terdengar suara lantunan tahlil yang mengiringi sepinya malam. Entah dimana aku berada, tapi aku hanya terpana menatap sebuah rumah di depanku. Tubuhku kaku berdiri di atas rerumputan dengan angin malam yang berhembus.
    Perlahan, kudekati rumah itu. Ketita ku buka pintu, semua mata disana tertegun pada ku. Mata mereka begitu asing, menatap tajam tubuhku yang gemetar. Lalu, ku lihat seorang pria dewasa yang menatap ku
penuh air mata. Kaki ku mulai tergerak mendekat pria yang tak asing itu. Ingin rasanya ku hapus rintikan air mata di pipi nya. Tapi langkahku tersentak ketika ku lihat wajah mungil seputih kertas terbaring tenang di depan pria itu dengan diselimuti kain putih di sekujur tubuhnya. Degup di dada seakan terhenti. Aku pun terisak dalam kepedihan setelah menyadari bahwa wajah mungil itu ialah wajah ibu ku. Ibu ku yang kian menderita penyakit ganas bertahun-tahun lama nya. Ibu ku yang begitu teguh melawan rasa sakit di dada nya itu kini terbaring kaku.
    Pedih di hati ku membuat tubuh ku ikut mengkaku. Jari jemari ku tak bisa bergerak lagi seperti diikat oleh suatu makhluk jahat. Seakan-akan ia melarangku mendekati jasad ibuku. Dengan panik, aku berteriak. Menghempas jeratan makhluk tak terlihat itu.
    Dan aku terkejut. Terkejut melihat tubuh ku yang terbaring di atas kasur empuk di kamarku. Dengan sigap, kaki ku terlonjak bangun dan segera berlari mengarah ke kamar di sebelah ku. Kamar ibu dan ayah ku. Sambil gemetar, ku buka pintu kamar itu. Dan lega rasanya, ternyata ibu dan ayahku masih bernafas bebas.
    Setelah habis malam, ku buka mataku. Pagi yang cerah menyelimuti hati yang gundah. Entah apa yang sedang ku rasa, tapi mata ku kian membasah. Suara ayam berkokok menemani pagi ku yang sepi. Tanpa ayah dan ibu ku. Mereka selalu seperti itu. Pergi di pagi buta untuk mencari sebutir obat yang harganya tak lebih murah dari berlian. Setiap hari, Ibu harus menelan obat keras dan mahal itu. Entah apa yang akan terjadi pada tubuh ibu ku, tapi kini ibu telah menjadi pesuruh dokter. Ibu yang tak pernah mau ngeinjakkan kakinya ke rumah sakit, kini rumah sakit sudah bagaikan istanahnya. Kini Ibu selalu mengikuti perintah dokter yang telah meramalkan kematiannya, seakan akan dirinya Tuhan yang mengatur hidup dan mati seseorang.
    Tepat seperempat malam, ayah dan ibu tak kunjung berkabar dan tak kunjung tiba. Mereka selalu kembali se jam sebelum seperempat malam di hari-hari biasanya. Entah apa yang terjadi tapi hati ku semakin gundah. Aku pun menangis tanpa tau apa yang harus ku tangisi.
     Tiba-tiba, aku di kejutkan dengan seorang pria yang membuka pintu dengan tergesa-gesa. Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi bibirku tak lebih berani untuk mengungkapkan kata tanya. Ayah yang sedang kebingungan menyuruhku untuk bergegas masuk ke dalam mobil nya. Aku tak mampu berkata-kata sepanjang jalan. Jalan yang ku lewati, sepertinya tak asing. Tapi sepertinya tak pernah ku sempatkan waktu untuk berjalan ke perhutanan ini.
     Beberapa menit kemudian, terlihat pemukiman yang sepi dan sejuk. Ayah menghentikan mobilnya di rerumputan, di depan suatu rumah yang besar. Entah rumah siapa itu, tapi rasanya tak asing bagi ku. Ayah bergegas masuk ke dalam rumah itu. Sambil mengingat, kaki ku melangkah pelan, mengarah ke pintu rumah itu. Tepat di depan pintu masuk, terpampang papan nama yang bertuliskan "RUMAH PRAKTEK HJ. ARIEF".
      "Hj. Arief?" gumam ku. siapa dia? nama yang begitu asing. Tapi setelah ku buka pintu rumah itu, semua pasang mata menatap ku. Seakan akan ingin mengatakan sesuatu. Jantungku tersentak seketika. Aku teringat kejadian dalam mimpi burukku yang begitu mirip dengan apa yang terjadi malam ini. Tanpa pikir panjang, aku berlari mencari ayahku dalam kerubunan orang. Lantunan tahlil seakan mengiringi suasan gusar saat itu.
      Dan akhirny aku menemukan ayah di sudut ruangan. Ayah menangis, merunduk ke arah ibu yang terbaring lemas. Dengan nafas yang tersendat-sendat, ibu menangis. Bibir mungilnya itu seperti hendak mengucapkan suatu kata, tapi lidah nya tak kuasa lagi merangkai suara. Dengan langkah yang ikut melemas, ku datangi tubuh ibu yang kian membeku. Ku dekap tangannya erat. Dan ku bisikka kata maaf di telinga nya.
Semakin lama, kaki ibu semakin mengkaku. Matanya kini menatap tajam ke atas dengan tubuhnya yang menjadi kejang.
      Sunggu aku tak kuasa menyaksikan penderitaan ibu yang semakin dalam. Semua orang memintaku menuntun ibu untuk mengucapkan kalimat syahadat. Aku mau, tapi aku tak rela jika harus kehilangan ibu. Aku yakin ibu masih bisa bertaha. Aku yakin ibu masih kuat melawan penyakit ganas itu.
      Perlahan, kucoba redam ego ku. ku bisikkan dengan lembut kalimat syahadat. Bibir ibu pun segera mengikuti tuntunanku. Dan seketika, semua orang mengatakan "innalillahi wa inna ilai roji'un"
Sekejap, aku menjadi amat marah. Aku berteriak kencang. Aku marah kepada mereka, karena menurutku ibu belum meninggal. bibir ibu masih bergerak, seperti ingin mengatakan sesuatu pada ku. namun semua suara tahlil itu menutupi suara ibu. bibir ibu tiba tiba berhenti bersama nafasnya.
      Ibu ku pergi seketika untuk selamanya. Tanpa ucapan selamat tinggal. Tanpa kecupannya dan tanpa belai hangatnya ia pegi meninggalkan dunia. Aku harus siap, meski sesungguhnya tak siap. Melanjutkan semua yang biasanya terjadi tanpa ibu.
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Insert Your Comment Pleassee

Domo-kun CuteDomo-kun Cute